|
Sumber: travel.tempo.co |
Tempo.co,
Banda Aceh -- Saya terbahak ketika mendengar kisah seorang kawan yang tiba dari
Jakarta, Senin, 19 Maret lalu. Karno, kawan itu belum pernah ke Aceh. Ia hanya
mendengar tentang Aceh yang punya masakan khas: mie Aceh.
Saat
senggang, Agus dan seorang rekannya berkeliling Kota Banda Aceh. Dari hotel,
mereka menumpang becak ke Masjid Raya Baiturrahman, pusat kota. Dari sana
mereka mencoba jalan kaki melihat-lihat suasana.
Agus
teringat mie Aceh dan ingin mencobanya. Tiap warung diperhatikan, satu pun tak
bertuliskan mie Aceh. Tak terasa dua kilometer sudah mereka berjalan, tetapi
mie Aceh tak ditemukan.
Saat
bertemu, Karno protes kepada saya tentang susahnya mencari makanan itu. “Ada
banyak tempat, tapi di Banda Aceh jarang sekali warung yang menuliskan mie Aceh
di tempat berjualan. Karena ini Aceh. Kalau di luar Aceh baru ditulis besar-besar:
mie Aceh,” ujarnya.
Mie
Aceh mudah dijumpai di setiap warung kopi atau warung khusus yang menjual
masakan itu. Hanya, namanya mengikuti nama warung, nama suatu daerah dan nama
orang; misalnya, Mie Razali, Mie Lala, Mie Midi, Mie Bireuen, dan Mie Kajhu.
Perbedaan
dengan mi lainnya adalah pada bentuknya. Mi-nya terbuat dari tepung dan
berwarna kuning atau kerap disebut mi kuning serta diolah tanpa bahan pengawet.
Ukurannya sedikit lebih besar dari mi biasanya. Mungkin mirip mi hokkian atau
spaghetti.
Meracik
mie Aceh tidaklah susah. Bahan dasar yang dipergunakan hanya dua, mi
kuning/basah dan bumbu. Mi kuning itu hanya bertahan satu hari karena tanpa
pengawet membuatnya cepat basi. “Kalau dipakai pengawet rasanya tidak enak,”
kata Insafuddin, pekerja di warung Mie Razali yang terletak di Jalan Teuku
Panglima Polem, Banda Aceh.
Mengolah
mie Aceh sangat tergantung pada bumbu masak. Bumbunya terdiri atas cabai (mutu
tinggi), bawang putih, dan kemiri dalam jumlah dominan. Kemudian ditambahkan
sedikit bawang merah dan kacang tanah. Semua bumbu itu digiling halus dan akan
berwarna merah.
Memasaknya
pun tergantung pada selera. Ada tiga model; kebanyakan orang menyebutnya dengan
mi rebus (dengan banyak kuah), mi goreng basah (sedikit kuah), dan mi goreng
(kering tanpa kuah). Ketiganya punya rasa berbeda-beda, sama nikmatnya. Bila
pelanggan menginginkan pedas, maka akan diperbanyak bumbu.
Kata
Insafuddin, saat memasak mi diperlukan air yang sudah dimasak dengan tulang
sapi, seperti sop, dengan sedikit tambahan garam. Dimasak di dalam belanga,
pertama dimasukkan air, kemudian bumbu serta sedikit rajangan kol ataupun tauge
dan bawang daun. Sesudahnya baru dimasukkan mi kuning. Dimasukkan sedikit air
cuka dan kecap manis. Diperlukan waktu sekitar 2 menit untuk memasak satu porsi
mie Aceh.
Sebagai
pelengkap, juga bisa dimasak dengan mencampurkan daging atau udang atau
kepiting. Dijamin rasanya makin sedap. Mie Aceh dihidangkan dengan kerupuk
mulieng dan irisan bawang merah juga cabai rawit serta acar mentimun. “Rasanya
sangat tergantung pada pembuatan dan bumbunya,” kata Insafuddin.
Warung
Mie Razali tempat Insafuddin bekerja menawarkan mie Aceh sebagai menu utamanya.
Tempat itu tak pernah sepi dan hampir menjadi rujukan setiap warga asing dan
tamu luar Aceh yang berkunjung ke Aceh. Maklum, tempat itu juga mudah dijangkau
karena letaknya di pusat kota.
Warung
mi itu sudah lama berdiri, sejak 1960-an. Namanya diambil sesuai dengan nama
pemiliknya, Razali, yang kini telah almarhum. Bisnis mi di warung tersebut kini
ditangani keluarga. “Kami selalu menjaga cita rasa mie Aceh di sini,” ujar
Insafuddin.
Banyak
warung lainnya yang menjajakan mie Aceh. Kadang-kadang lain warung lain pula
rasanya. Tergantung pada lidah para pelanggan. “Perbedaannya pada olahan bahan
dasar mi dan bumbunya,” kata Muntasir, penjual mie Aceh di warung Mun Mie
Bireuen, Ulee Kareng, Banda Aceh.
Menurut
dia, kadang-kadang bumbu yang diolah lebih banyak cabainya, lebih banyak
bawangnya, atau lebih banyak kemiri dan kacangnya. Itulah yang membuat rasa menjadi
berbeda. Selain itu, juga pada mengolah tepung menjadi mi kuning sebagai bahan
dasar. “Olahannya dengan kadar air tertentu dan pada pemilihan mutu tepung,”
ujar Mun.
Tapi
secara umum rasanya sama saja. “Rasanya sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Sedap, jauh lebih nikmat daripada mi-mi biasanya yang pernah saya cicipi,”
sebut Karno, kawan saya.
Jika
Anda ke Banda Aceh, berikut ini beberapa tempat warung mie Aceh yang dapat
dikunjungi.
· Warung
Mie Razali, Jalan Panglima Polem, Banda Aceh. Warung ini hanya menjual mie Aceh
dengan berbagai minuman jus dan minuman ringan lainnya. Mie Razali juga membuka
cabang di Jalan Soekarno-Hatta, Lampeuneurut, Aceh Besar.
· Warung
Mie Lala, Jalan Syiah Kuala, Kampung Kramat, Banda Aceh. Warung ini hanya
menjual mie Aceh dengan berbagai minuman jus dan minuman ringan lainnya.
· Pusat
jajanan Rex Peunayong, Jalan Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Pusat jajanan yang
menjual berbagai macam makanan. Selain mie Aceh, juga ada nasi goreng, kerang
rebus, sate matang, martabak telur, dan aneka minuman.
· Warung
Mie Kajhu, Jalan Banda Aceh, Krueng Raya, Kajhu, Aceh Besar. Selain menjual mie
Aceh, warung ini juga menjual rujak Aceh.
· Warung
Mie Lhoknga, Desa Lhok Nga, Aceh Besar. Warung ini hanya menjual mie Aceh
dengan berbagai minuman lainnya.
· Warung
Mie Bireuen, Simpang Tujuh, Ulee Kareng, Banda Aceh. Warung ini khusus menjual
mie Aceh.