Yogyakarta
dan gudeg adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Yogyakarta selama ini dikenal
sebagai daerah yang menghasilkan makanan khas tradisional yang disebut gudeg.
Meskipun saat ini sudah banyak ditemukan juga di berbagai kota dan
daerah lain di Jawa Tengah, gudeg masih dianggap sebagai makanan khas Daerah Istimewa
Yogyakarta sehingga Yogyakarta seringkali dijuluki sebagai Kota Gudeg (selain
Kota Pelajar).
Gudeg
merupakan makanan yang berbahan baku utama daging buah nangka muda (dalam
bahasa Jawa disebut ‘gori’). Setelah
dikupas kulitnya, nangka muda dipotong-potong, kemudian direbus dengan gula
kelapa, santan, dan dibubuhi racikan bumbu yang, antara lain, terdiri atas
bawang putih, garam, kemiri, lengkuas, dan daun salam. Waktu yang dibutuhkan
untuk merebus hingga adonan itu benar-benar menjadi gudeg sekitar 4-5 jam.
Setelah siap, gudeg biasanya dihidangkan bersama sambal goreng krecek dilengkapi
dengan telur rebus, daging ayam, tahu, dan tempe.
Gudeg
dapat dibuat dalam dua versi, yakni kering dan basah, sehingga dikenal ada
gudeg kering dan gudeg basah. Gudeg kering dibuat atau dimasak dengan lebih
sedikiit menggunakan santan sehingga menghasilkan kuah yang sangat sedikit dan
kental. Sebaliknya, gudeg basah dimasak dengan menggunakan lebih banyak santan
sehingga menghasilkan kuah yang lebih banyak dan lebih encer.
Hasil Ciptaan Pasukan Mataram
Sejarah
gudeg dan Yogyakarta terkait dengan keberadaan Kerajaan Mataram berabad-abad
yang lalu. Dahulu Kerajaan Mataram Islam didirikan di hutan Mentaok pada abad
ke-16 (hutan Mentoak saat ini dikenal sebagai kawasan Kota Gede). Di hutan
Mentaok banyak sekali tumbuh pohon nangka, kelapa, dan melinjo.
Dibutuhkan
lahan yang luas untuk lokasi pendirian Kerajaan Mataram Islam di hutan Mentoak
sehingga pohon nangka, kelapa, dan melinjo yang tumbuh di sana terpaksa harus
ditebang. Banyaknya ketiga jenis tanaman itu yang ditebang menyebabkan para
prajurit Mataram Islam terinspirasi dan tergerak untuk membuat makanan (masakan)
dengan menggunakan bahan-bahan dasar yang berasal dari pohon-pohon yang
ditebang tersebut. Masakan yang dihasilkan dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan pangan prajurit Mataram Islam yang jumlahnya tidak sedikit.
Adapun
awal digunakannya kata ‘gudeg’ untuk memberi nama makanan itu bermula dari
proses ‘pengadukan’ yang dilakukan selama memasaknya. Dahulu, untuk memenuhi
kebutuhan makan para prajurit Mataram, adonan buah nangka muda itu dimasak
dalam jumlah sangat banyak sehingga harus ditempatkan di wadah (kendil,
tempayan, atau panci) berukuran besar serta menggunakan pengaduk (alat untuk
mengaduk) yang juga berukuran besar yang menyerupai dayung perahu/kano. Proses
memasaknya dilakukan dengan dominan gerakan mengaduk-aduk (dalam bahasa Jawa
disebut hangudheg) dalam waktu yang
cukup lama. Dari proses dan kegiatan semacam itulah, makanan yang dihasilkan
kemudian diberi nama ‘gudheg’ (dan selanjutnya populer dengan sebutan ‘gudeg’).
Sejak
saat itulah masakan dengan bahan dasar utama dari tumbuhan nangka tersebut
makin sering dibuat. Kian lama pula mengonsumsi hidangan yang kemudian dikenal
dengan nama gudeg itu kian sering dilakukan serta menjadi kebutuhan penting masyarakat Mataram. Gudeg pun tidak
lekang oleh perubahan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat, melainkan
mampu bertahan dan lestari hingga sekarang.
Gudeg pun
kini tidak hanya menjadi makanan khas dan tradisional masyarakat Yogyakarta
sebagai pusat dari Kerajaan Mataram Islam, tetapi juga masyarakat Solo dan
sekitarnya yang secara historis menjadi bagian tak terpisahkan dari Kerajaan
Mataram Islam. Bahkan gudeg saat ini juga relatif mudah ditemukan di berbagai
kota dan daerah di luar Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gudeg sudah menjadi makanan
legendaris nusantara yang banyak digemari masyarakat dari berbagai penjuru
negeri yang dihidangkan dengan gaya tradisional atau modern menurut selera
penikmatnya.