Friday, February 2, 2018

Nasi Megono, Santapan Khas Masyarakat Batang dan Pekalongan

Nasi megono, hidangan khas masyarakat Batang dan Pekalongan
(Foto: pbs.twimg.com-indoindians.com)
Masyarakat di kawasan pantai utara Pulau Jawa (pantura) bagian barat Jawa Tengah, khususnya di sepanjang Kabupaten Pekalongan ke timur hingga Kabupaten Batang, memiliki jenis santapan nasi khusus yang tidak dimiliki daerah lain. Jenis makanan nasi khusus tersebut biasa disebut ‘nasi megono’ (sego megono). Makanan ini menjadi hidangan khas daerah Batang dan Pekalongan yang sederhana, murah, dan merakyat.
Nasi megono atau biasa disebut megono saja (yang di dalamnya otomatis sudah termasuk nasi) telah menjadi santapan masyarakat Batang dan Pekalongan secara turun-temurun sejak zaman dahulu. Kendatipun bentuk atau penampilannya terlihat sangat sederhana, nasi megono masih menjadi salah satu hidangan favorit masyarakat di kedua daerah itu hingga saat ini. Di tengah keberadaan berbagai jenis makanan modern baik yang berasal dari luar daerah maupun dari luar negeri, nasi megono tetap bisa eksis sebagai makanan tradisional khas masyarakat Batang dan Pekalongan.
Bentuk atau penampilan nasi megono memang benar-benar sederhana, tetapi di lidah orang-orang Batang dan Pekalongan dirasakan tidak kalah dengan jenis-jenis masakan nasi yang lain, seperti nasi uduk, nasi gandhul, nasi becak, nasi goreng, dan nasi bakar. Citarasa khas nasi megono yang sudah menjadi makanan rakyat sehari-hari tidak dapat digantikan begitu saja oleh jenis makanan lain yang beberapa tahun terakhir ini “menyerbu” warung makan dan restoran. Di tengah menikmati berbagai jenis makanan lain yang kadang terdengar aneh dan asing, masyarakat Batang dan Pekalongan masih tetap setia menyantap nasi megono.
Di tengah serbuan berbagai jenis makanan modern, nasi megono
masih tetap eksis sebagai santapan tradisional (Foto: i.ytimg.com)
Nasi megono memiliki ciri yang simpel dan ringkas. Bentuknya berupa nasi putih yang di atasnya ditaburkan cincangan (cacahan) daging buah nangka muda (cecek/gori). Sebelum ditaburkan di atas nasi, cincangan buah nangka muda terlebih dahulu dicampur dengan racikan bumbu yang telah dihaluskan (antara lain, dari bawang putih, bawang merah, cabai, daun bawang, garam, ketumbar, merica, lengkuas, dan daun salam) kemudian dikukus dengan parutan kelapa selama kurang lebih 30 menit.
Nasi megono masih dengan mudah dijumpai di Batang dan Pekalongan. Di warung-warung tepian jalan raya dan jalan kampung, nasi ini dijual dengan harga yang relatif murah. Masyarakat umumnya menjadikannya sebagai santapan pagi hari (sarapan), tetapi kadang ada juga yang memanfaatkannya untuk makan siang dan malam. Nasi megono biasanya disajikan dengan tempe (mendoan atau biasa) sebagai lauknya, tetapi bisa juga disantap dengan lauk-lauk lain, yakni tahu goreng , telur, perkedel, empal, telur asin, telur ceplok atau dadar, ikan goreng, ayam goreng, dan sebaganya.
Bahkan, nasi megono juga bisa dipadu dan disantap dengan sayur lain, seperti gulai kambing, satai kambing, semur telur, semur daging, kering tempe, opor ayam, sambal goreng kentang, dan cumi kuah. Disantap dengan sayur lain, nasi megono akan terasa lebih kaya rasa, tanpa kehilangan ciri khas citarasanya. Jika Anda singgah di Batang atau Pekalongan, Anda akan lebih mendapat kesan yang mendalam jika Anda menyempatkan diri untuk menikmati santapan ini.

Thursday, February 1, 2018

Meracik dan Membuat Selat, Kuliner Khas Solo

Hidangan selat yang sudah siap disantap. (Sumber gambar: 4.bp.blogspot.com)

Makanan khas Kota Solo, selat, boleh jadi tidak sepenuhnya murni dikreasi dari bahan dasar, rempah, dan nilai-nilai lokal Solo. Beberapa komponen serta variasi dan komposisi bahan-bahan yang digunakan menunjukkan bahwa makanan ini (kemungkinan besar) mendapat pengaruh dari masakan atau makanan asing. Penggunaan mayones dan mustard, misalnya, serta perpaduan bahan-bahan dan penggunaan bumbunya (rempah) membuat selat memiliki penampilan dan citarasa seperti salad, bistik (biefstuk/steak), dan sup, yang kesemuanya ini merupakan makanan yang berasal dari Barat (Eropa).
Pada zaman kolonial Belanda dahulu, selat memang konon menjadi santapan rutin para bangsawan di Keraton Kasunanan, Solo. Makanan yang berbahan utama daging sapi ini menjadi salah satu makanan favorit kalangan kaum elite Jawa dan juga Belanda tempo dulu di Solo. Ketika itu, di Solo sudah dikenal berbagai jenis kuliner khas Eropa atau Belanda dan selat kelihatannya merupakan produk makanan lokal yang diciptakan sebagai hasil akulturasi (perpaduan) makanan lokal dan Eropa/Belanda.
Makanan yang juga mendapat sebutan sebagai bistik jawa ini terbuat dari daging sapi (has luar) rebus yang dimasukkan ke dalam kuah semur yang diracik dari air, bawang putih, kecap inggris, kecap manis, dan cuka yang dibubuhi dengan pala dan merica. Hasil racikan kemudian disajikan dengan telur semur dan sayur-sayuran yang, antara lain, terdiri atas daun selada, kentang (goreng), wortel, buncis, tomat, dan mentimun yang ditaburi dengan keripik kentang serta dilengkapi dengan moster (mustard) dan mayones. Proses pembuatannya cukup rumit dan kompleks, tetapi citarasa yang dihasilkannya cukup menggiurkan. Berikut ini dipaparkan resep serta cara memasak dan menyajikan selat.
v    Bahan
·          5 ons daging sapi has dalam/luar atau gandik (paha belakang)
·          7 butir bawang merah
·          5 siung bawang putih
·          4 sendok makan kecap manis
·          1 butir tomat
·          2 ons buncis
·          2 ons wortel
·          4 putih telur rebus
·          4 kuning telur
·          1 cm kayu manis
·          2 buah cengkeh
·          1 sendok teh lada
·          3 sendok makan air jeruk nipis
·          1,5 sendok teh garam
·          1 sendok makan gula pasir
·          Seperempat potong pala
·          2 sendok makan margarin
·          1,5 ons margarin cair
·          250 ml air
v    Cara Membuat
·     Potong melintang daging sapi, iris tipis-tipis bawang merah, dan potong-potong tomat.
·     Potong-potong buncis dan wortel masing-masing sekitar 3 cm dan rebus hingga matang
·     Rebus putih telur dan iris panjang-panjang.
·     Buat saus dengan 4 kuning telur (haluskan), 150 gram margarin cair, 3 sendok makan air jeruk nipis, 1 sendok makan gula pasir, dan 1 sendok teh garam.
·     Haluskan 5 siung bawang putih, 1 sendok teh lada, dan setengah sendok teh garam.
·     Lelehkan margarin, tumis bawang merah sampai layu, masukkan bumbu halus, setelah harum, masukkan daging, cengkeh, pala, kayu manis, dan air, masak hingga daging empuk.
·     Setelah daging empuk, tambahkan kecap dan tomat, masak hingga mengental, angkat, sisihkan.
·     Campur semua bahan saus hingga rata.
v    Cara Penyajian
·     Atur sayuran, keripik kentang, dan telur rebus di atas piring.
·     Taruh potongan bistik dan tuang kuahnya.
·     Tambahkan satu sendok makan mayones di atas selada.
·     Sajikan.

Wednesday, January 31, 2018

Selat, Makanan Nusantara Khas Solo

Selat, kuliner khas Solo yang banyak digemari. (Foto: 4.bp.blogspot.com)

Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar atau membaca kata ‘selatAnda yang belum akrab dengan dunia kuliner tradisional, dan sebaliknya terbiasa dengan dunia geografi atau traveling, mungkin akan mengira bahwa itu merupakan salah satu dari bagian laut atau lautan di bumi. Dalam geografi atau ilmu bumi, selat memang berarti laut sempit yang berada di antara dua pulau --- contohnya, Selat Sunda, Selat Malaka, dan Selat Madura.
Namun, dalam dunia kuliner, terutama kuliner tradisional daerah, selat merupakan nama sebuah makanan khas. Selat adalah makanan khas Kota Solo, Jawa Tengah. Nama ‘selat’, konon, diadaptasi dari atau merujuk pada kata ‘salad’ (bahasa Inggris), yang berarti (daun) selada atau sayur yang disantap sebagai lalapan saat makan.
Di dalam selat sendiri memang terdapat unsur (sayur) selada. Namun, selada hanya menjadi bagian kecil dari hidangan selat yang kaya akan komponen bahan dan rempah.  Selada bahkan bukan merupakan bahan atau komponen utama dalam selat, melainkan lebih sebagai ornamen atau penghias saja.
Di tengah keberadaan selada sebagai komponen kecil, selat merupakan makanan khas Solo dari daging sapi (has luar) rebus yang dimasukkan ke dalam kuah semur (encer atau kental) yang diracik dari air, bawang putih, kecap inggris, kecap manis, dan cuka yang dibubuhi dengan pala dan merica. Racikan ini kemudian dihidangkan dengan telur semur dan sayur-sayuran yang terdiri atas selada mentah, tomat mentah, kentang goreng, wortel rebus, buncis rebus, dan mentimun mentah (bisa juga ditambahkan kol atau brokoli) yang ditaburi dengan keripik kentang serta dilengkapi dengan moster (mustard) dan mayones.
Dapat dikatakan, bagian atau bahan utama pembuatan selat sebenarnya adalah daging sapi. Dalam versi aslinya, daging sapi yang digunakan adalah bagian gandik, yakni paha belakang yang tidak mengandung lemak dan seratnya panjang. Dengan bahan utama daging sapi, maka selat sesungguhnya tidak relevan (cocok) disebut sebagai ‘salad’ ­yang  memiliki arti selada atau sayuran yang disantap sebagai lalapan (ulam).
Masakan ini lebih cocok disebut sebagai  bistik. Banyak kalangan menyebutnya sebagai bistik jawa. Tidak sedikit pula yang menggolongkan makanan yang memiliki rasa khas ini sebagai kombinasi antara bistik, salad, dan sup. Penggemar dan pakar kuliner terkenal, Bondan Winarno, menyebut selat sebagai sebuah fusion  yang dahsyat antara biefstuk, salad, dan sup.
Salah satu rumah makan terkenal di Solo yang menyediakan selat,
Warung Selat Mbak Lies. (Foto: www.banyumurti.net)

     Jika Anda singgah atau berkunjung ke Kota Solo, Anda dapat menemukan makanan ini dengan mudah. Selain harganya cukup murah, selat juga banyak dijual di warung dan rumah makan di berbagai tempat di Solo. Berkunjung ke Solo tanpa menikmati selat, rasanya kurang lengkap. Berikut beberapa warung, rumah makan, atau food counter  di Solo yang menyediakan hidangan selat.
·        Mbak Lies Selat Solo Restaurant; Jalan Veteran, Gang II No. 42, Serengan
·        Tenda Biru's Selat Solo; Jalan K.H. Samanhudi No. 1, Laweyan
·        Mekar Sari Restaurant; Jalan Dr. Rajiman No. 182B, Laweyan
·        Omah Selat; Jalan Gotong Royong No. 13, Jagalan, Jebres
·        Warung Selat Pak Bambang; Jalan Tirtosari No. 1, Purwonegaran, Sriwedari
·        Warung Selat; Jalan Moh. Husni Thamrin No. 35, Kerten, Banjarsari
·        Kusuma Sari Restaurant & Ice Cream; Jalan Slamet Riyadi No. 111, Kemlayan, Serengan
·        Selat Vien's (Selat, Timlo, & Soto Ayam); Jalan Hasanudin No. 99, Punggawan, Banjarsari

Sunday, January 28, 2018

Benteng Van den Bosch, Ikon Pariwisata Kabupaten Ngawi

Salah satu sisi tengah Benteng Van den Boch. (Foto: Sadah Siti Hajar)

Kota dan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, memiliki beberapa destinasi (tujuan) wisata sejarah yang patut diunggulkan. Selain Trinil, yang merupakan objek wisata dengan bentuk situs kehidupan manusia dan satwa purba, Ngawi juga memiliki destinasi wisata sejarah yang lain, yakni Benteng Van den Bosch. Seperti namanya, benteng ini merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang dibangun pada abad ke-19, tepatnya tahun 1845.
Benteng Van den Bosch oleh masyarakat Ngawi populer disebut sebagai “Benteng Pendhem”. Sebutan ini merujuk pada keberadaan benteng yang berdiri di tempat (cekungan) yang rendah sehingga dari jauh tampak seperti terpendam atau terkubur. Dahulu, benteng ini memang konon dikelilingi oleh gundukan tanah seperti tanggul atau perbukitan –– sisa-sisa tanggul atau perbukitan itu masih terlihat di sekitar benteng. Sama seperti parit, tanggul pada benteng bisa dibuat sebagai pagar pertahanan pertama dari serangan musuh.
Setelah Indonesia merdeka, Benteng Van den Bosch diambil alih dan dikuasai oleh pemerintah Indonesia, kemudian dimanfaatkan sebagai lokasi latihan militer. Saat ini, pengelolaan benteng tersebut menjadi tanggung jawab Yon Armed 12 Kostrad TNI AD. Adapun lokasinya hanya berjarak sekitar 1 km dari pusat Kota Ngawi serta berada di daerah pertemuan dua sungai besar, yakni Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun. 

Sisi tengah lain dari Benteng Van den Bosch. (Foto: Sadah Siti Hajar)

Benteng yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda sebagai pertahanan untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di kawasan Madiun dan sekitarnya ini berdiri di atas area seluas 15 hektar. Bangunannya berukuran 165 m x 80 m yang, antara lain, terdiri atas gerbang utama (gate), barak pasukan (tentara), perkantoran, ruang pimpinan, ruang tahanan (penjara), dan kandang kuda. Benteng ini dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Van den Bosch.
Jejak-jejak Van den Bosch masih terlihat cukup jelas di benteng ini. Gambar close-up-nya yang berukuran besar dalam versi baru –– yang tampaknya dipasang oleh pihak pengelola –– terpampang jelas di beberapa sisi dinding benteng. Gambar itu agaknya memang sengaja dipasang untuk menunjukkan kesan kuatnya kedudukan dan pengaruh Van den Bosch atas benteng ini. Di benteng ini Sang Gebernur Jenderal konon memiliki ruang tersendiri sebagai tempat tinggalnya.

     Dengan arsitektur bangunan bergaya Eropa murni, Benteng Van den Bosch dikelilingi parit (sungai kecil berbentuk melingkar) yang cukup lebar. Di beberapa bagian, bekas parit itu masih terlihat sangat jelas karena terisi genangan air. Saat berfungsi sebagai pertahanan untuk menghadapi serangan pasukan Diponegoro, benteng ini diperkuat dengan sekitar 200-an personel pasukan Belanda bersenjata serbu dan meriam serta dilengkapi dengan puluhan pasukan berkuda (kavaleri).

Pemandangan sisi belakang Benteng Van den Bosch. (Foto: Sadah Siti Hajar)

Di salah satu bagian benteng terdapat pula makam K.H. Muhammad Nursalim, salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Dalam suatu insiden, Muhammad Nursalim tertawan oleh pasukan Belanda dan dibawa ke dalam benteng. Oleh karena tidak bisa dihabisi dengan cara biasa, ia kemudian dieksekusi dengan cara dikubur hidup-hidup.
Benteng Van den Bosch jelas memiliki nilai historis yang tinggi. Ia merupakan bangunan peninggalan sejarah yang menjadi salah satu penanda perjuangan rakyat Indonesia –– terutama Pangeran Diponegoro bersama pengikut dan pasukannya –– dalam melakukan perlawanan terhadap imperialisme bangsa asing (Belanda). Benteng itu memang (dahulu) milik Belanda, tetapi dibangun untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia sebagai penjajah serta difungsikan sebagai basis untuk melakukan penindasan dan pengisapan terhadap rakyat Indonesia.
Dan setelah menjadi milik bangsa Indonesia, Benteng Van den Bosch merupakan bangunan historis yang sangat berharga bagi bangsa dan negara Indonesia. Bangunan itu kini menjadi salah satu monumen perjuangan bangsa Indonesia. Namun, sayang sekali, kendatipun masih berdiri kokoh serta memperlihatkan sisa-sisa kemegahannya sebagai bangunan masa lalu yang artistik dan mengagumkan, benteng ini terlihat kurang perhatian dan perawatan. Selain terlihat kurang bersih, dinding dan atap bangunannya banyak mengalami kerusakan. 

Benteng Van den Bosch Akan Direnovasi secara Bertahap

Salah satu sudut Benteng Van den Bosch yang tampak kurang terawat.
(Foto: Sadah Siti Hajar)


Benteng Van den Bosch selama ini menjadi salah satu ikon penting pariwisata Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Benteng yang oleh masyarakat Ngawi populer disebut sebagai Benteng Pendhem ini menjadi benda cagar budaya penting di Kabupaten Ngawi. Namun, kendatipun dianggap sebagai peninggalan bersejarah serta cukup banyak dikunjungi para wisatawan, benteng tersebut selama ini kurang terawat. Selain terlihat kotor, beberapa bagian dari bangunan benteng juga telah rusak dan terbengkalai.
Guna melakukan upaya pelestarian, pemerintah setempat dan pusat berinisiatif melakukan langkah renovasi terhadap Benteng Van den Bosch. Melalui usulan Pemerintah Kabupaten Ngawi kepada pemerintah pusat, pada tahun 2018 ini akan dilakukan renovasi terhadap bangunan benteng dengan anggaran Rp 5 miliar. Sebagai tindak lanjut awal, pada awal November 2017 lalu, sejumlah petugas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) telah melakukan survei ke lokasi benteng. 

Benteng Van den Bosch banyak dikunjungi wisatawan domestik.
(Foto: Sadah Siti Hajar)

Benteng Van den Bosch merupakan bangunan bersejarah yang telah dikategorikan sebagai benda cagar budaya. Oleh karena itu, upaya pelestariannya tidak bisa dilakukan dengan cara yang sembarangan. Terkait dengan hal itu, Kementerian PUPR akan menjalin kerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Balai Arkeologi Yogyakarta, dan Laboratorium Borobudur dalam melakukan renovasi. Hal ini dilakukan agar aktivitas renovasi tidak merusak bangunan fisik benteng dan menghilangkan nilai sejarahnya.
Renovasi terhadap benteng yang pernah menjadi kediaman Gubernur Jenderal Van den Bosch itu harus dilakukan dengan tetap mempertahankan kondisi aslinya sehingga membutuhkan perlakuan istimewa. Selain membutuhkan sentuhan tangan para ahli, renovasinya juga memerlukan material khusus yang mirip atau mendekati material aslinya. Dengan demikian, langkah renovasi tidak akan merusak benteng tersebut sebagai benda cagar budaya.
Renovasi bangunan rencananya akan dilakukan secara bertahap. Renovasi pada tahun 2018 ini akan menjadi renovasi tahap pertama yang menargetkan untuk melakukan perbaikan pada bangunan pintu gerbang masuk dan ruang kantor Jenderal Van den Bosch yang berada di tengah lokasi benteng. Adapun bagian-bagian lain dari bangunan benteng, menurut rencana dan usulan, akan direnovasi pada tahun-tahun berikutnya.