Tuesday, April 24, 2018

Gudeg, Makanan Khas Tradisional Yogyakarta Peninggalan Kerajaan Mataram

Gudeg yang menggiurkan (Sumber: (http www.resepharian.com)
Yogyakarta dan gudeg adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Yogyakarta selama ini dikenal sebagai daerah yang menghasilkan makanan khas tradisional yang disebut gudeg.  Meskipun saat ini sudah banyak ditemukan juga di berbagai kota dan daerah lain di Jawa Tengah, gudeg masih dianggap sebagai makanan khas Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga Yogyakarta seringkali dijuluki sebagai Kota Gudeg (selain Kota Pelajar).
Gudeg merupakan makanan yang berbahan baku utama daging buah nangka muda (dalam bahasa Jawa disebut ‘gori’). Setelah dikupas kulitnya, nangka muda dipotong-potong, kemudian direbus dengan gula kelapa, santan, dan dibubuhi racikan bumbu yang, antara lain, terdiri atas bawang putih, garam, kemiri, lengkuas, dan daun salam. Waktu yang dibutuhkan untuk merebus hingga adonan itu benar-benar menjadi gudeg sekitar 4-5 jam. Setelah siap, gudeg biasanya dihidangkan bersama sambal goreng krecek dilengkapi dengan telur rebus, daging ayam, tahu, dan tempe.
Gudeg dapat dibuat dalam dua versi, yakni kering dan basah, sehingga dikenal ada gudeg kering dan gudeg basah. Gudeg kering dibuat atau dimasak dengan lebih sedikiit menggunakan santan sehingga menghasilkan kuah yang sangat sedikit dan kental. Sebaliknya, gudeg basah dimasak dengan menggunakan lebih banyak santan sehingga menghasilkan kuah yang lebih banyak dan lebih encer.
Hasil Ciptaan Pasukan Mataram
Sejarah gudeg dan Yogyakarta terkait dengan keberadaan Kerajaan Mataram berabad-abad yang lalu. Dahulu Kerajaan Mataram Islam didirikan di hutan Mentaok pada abad ke-16 (hutan Mentoak saat ini dikenal sebagai kawasan Kota Gede). Di hutan Mentaok banyak sekali tumbuh pohon nangka, kelapa, dan melinjo.
Dibutuhkan lahan yang luas untuk lokasi pendirian Kerajaan Mataram Islam di hutan Mentoak sehingga pohon nangka, kelapa, dan melinjo yang tumbuh di sana terpaksa harus ditebang. Banyaknya ketiga jenis tanaman itu yang ditebang menyebabkan para prajurit Mataram Islam terinspirasi dan tergerak untuk membuat makanan (masakan) dengan menggunakan bahan-bahan dasar yang berasal dari pohon-pohon yang ditebang tersebut. Masakan yang dihasilkan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan prajurit Mataram Islam yang jumlahnya tidak sedikit.
Adapun awal digunakannya kata ‘gudeg’ untuk memberi nama makanan itu bermula dari proses ‘pengadukan’ yang dilakukan selama memasaknya. Dahulu, untuk memenuhi kebutuhan makan para prajurit Mataram, adonan buah nangka muda itu dimasak dalam jumlah sangat banyak sehingga harus ditempatkan di wadah (kendil, tempayan, atau panci) berukuran besar serta menggunakan pengaduk (alat untuk mengaduk) yang juga berukuran besar yang menyerupai dayung perahu/kano. Proses memasaknya dilakukan dengan dominan gerakan mengaduk-aduk (dalam bahasa Jawa disebut hangudheg) dalam waktu yang cukup lama. Dari proses dan kegiatan semacam itulah, makanan yang dihasilkan kemudian diberi nama ‘gudheg’ (dan selanjutnya populer dengan sebutan ‘gudeg’).
Sejak saat itulah masakan dengan bahan dasar utama dari tumbuhan nangka tersebut makin sering dibuat. Kian lama pula mengonsumsi hidangan yang kemudian dikenal dengan nama gudeg itu kian sering dilakukan serta menjadi kebutuhan  penting masyarakat Mataram. Gudeg pun tidak lekang oleh perubahan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat, melainkan mampu bertahan dan lestari hingga sekarang.
     Gudeg pun kini tidak hanya menjadi makanan khas dan tradisional masyarakat Yogyakarta sebagai pusat dari Kerajaan Mataram Islam, tetapi juga masyarakat Solo dan sekitarnya yang secara historis menjadi bagian tak terpisahkan dari Kerajaan Mataram Islam. Bahkan gudeg saat ini juga relatif mudah ditemukan di berbagai kota dan daerah di luar Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gudeg sudah menjadi makanan legendaris nusantara yang banyak digemari masyarakat dari berbagai penjuru negeri yang dihidangkan dengan gaya tradisional atau modern menurut selera penikmatnya.

No comments:

Post a Comment